Kelengkeng untuk Ketahanan Pangan

KN.INFO, Berawal dari kegelisahan karena sedikitnya buah-buahan lokal yang
berkualitas baik, Roesdiyanto merintis tempat pembibitan kelengkeng
dataran rendah di Cirebon, Jawa Barat. Sekalipun bibit itu berasal dari
luar negeri, dia meyakini Indonesia mampu mengembangkan buah-buahan
dengan kualitas setara impor.
Pada lahan bekas tebu di Desa
Karangwareng, Kecamatan Karangwareng, Cirebon, keyakinan itu dia
pertaruhkan. Tahun 2004 dia membeli 2 hektar lahan seharga Rp 120 juta
di area persawahan yang didominasi tebu dan padi. Ia ingin mengembangkan
bibit kelengkeng yang diperoleh dari kenalan di Majalengka dan Jakarta.
Upayanya
tak mulus. ”Banyak orang mencela dan tak percaya kelengkeng bisa tumbuh
di Cirebon yang tergolong dataran rendah. Padahal, ada kelengkeng jenis
dataran rendah yang cepat berbuah, bahkan berbuah sepanjang tahun,”
kata Roesdiyanto, awal Maret lalu.
Kelengkeng (Euphoria longana)
dikenal sebagai tanaman asal dataran tinggi. Di Indonesia, jenis lokal
tanaman ini dikembangkan di Ambarawa, Jawa Tengah. Namun, seiring dengan
maraknya buah impor, termasuk kelengkeng dari Thailand dan China,
varietas lokal semakin tergusur.
Kelengkeng dataran tinggi
memerlukan waktu sampai empat tahun untuk berbuah, sedangkan kelengkeng
dataran rendah kurang dari dua tahun. Bentuk buah dan rasa kelengkeng
dataran rendah pun tak jauh beda dan tak kalah nikmat dibandingkan
dengan kelengkeng dataran tinggi. Bahkan, menurut Roesdiyanto,
kelengkeng dataran rendah lebih unggul karena rasanya lebih manis dan
ukuran buahnya lebih besar.
Empat jenis
Ada
empat jenis kelengkeng dataran rendah yang dikembangkan Roesdiyanto,
yakni kelengkeng pingpong, diamond, kristal, dan aroma durian. Menurut
dia, ada yang menyebutkan bibit kelengkeng dataran rendah itu berasal
dari Thailand, tetapi ada pula yang mengatakan dari Vietnam.
Terlepas
dari asal bibit kelengkeng tersebut, varietas ini mampu bersaing dengan
kelengkeng impor. Ukuran kelengkeng pingpong, misalnya, bisa dua kali
lipat dari kelengkeng biasa. Rasanya yang manis dan daging buahnya yang
lebih tebal menjadi incaran pencinta buah.
Kelengkeng diamond yang
daging buahnya bening dan manis tak jauh berbeda dengan varietas
dataran tinggi. Keunggulannya, buahnya rindang. Dari satu pohon bisa
dipanen 30-40 kilogram buah per tahun. Jenis ini tak jauh berbeda dengan
kelengkeng kristal. Bedanya, sirip daun kelengkeng kristal ada lima,
sedangkan diamond empat. Produktivitas kedua jenis ini pun relatif
tinggi.
Adapun kelengkeng aroma durian berdaging putih dan bijinya
kecil, seperti biji pepaya. Harga bibit kelengkeng jenis ini bisa lebih
dari Rp 1 juta.
Untuk pembibitan, ia mengandalkan pencangkokan
dengan media sabut kelapa. Dalam setahun bisa dihasilkan sampai 100
bibit dari satu pohon. Sebanyak 200 pohon kelengkeng milik Roesdiyanto
bisa menghasilkan 20.000 bibit. Bibit itu, antara lain, diminati pembeli
dari Banten, Bandung, Cianjur, Jakarta, Lampung, Palembang, Medan,
Bangka, dan Banyuwangi.
Harga bibit bervariasi, dari Rp 75.000
untuk tinggi 1,5 meter sampai Rp 4 juta per pohon untuk bibit siap
panen. Dalam setahun kelengkeng dataran rendah bisa panen sampai tiga
kali.
”Kelengkeng jenis ini cukup diberi pupuk organik, kotoran
sapi atau kambing yang dihancurkan dan ditambah air, lalu disiramkan ke
bagian akar. Lebih baik lagi kalau disiram dengan air cucian beras yang
pertama kali,” kata Roesdiyanto.
Perlu kemauan
Kelengkeng
relatif jauh dari hama kecuali gangguan kelelawar saat musim panen.
Untuk mencegah serbuan kelelawar, Roesdiyanto memasang jaring. Gangguan
kecil, seperti telur belalang yang menempel pada daun kelengkeng, bisa
disingkirkan. ”Menanam kelengkeng tidak susah asal ada kemauan,”
ujarnya.
Roesdiyanto juga mengembangkan pola pertanian tumpang
sari. Di sela-sela tanaman kelengkeng yang tiap pohonnya berjarak 8
meter, ia menanam padi, bawang daun, cabai, dan kol, yang bernilai jual.
Kesuksesannya
membibitkan kelengkeng membuat pemerintah setempat berencana menjadikan
wilayah timur Cirebon sebagai sentra kelengkeng. Ia lalu mendirikan
Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan untuk melatih warga atau siswa yang
ingin mengembangkan kelengkeng.
”Mereka yang mau belajar menanam
atau membibitkan kelengkeng, saya gratiskan, termasuk untuk belajar
metode tumpang sari,” katanya.
Siswa sekolah yang datang ke
kebunnya dipandu sejumlah staf belajar cara mencangkok dan merawat
kelengkeng. Harapannya, mereka bisa menanam kelengkeng di rumah
masing-masing. Setiap siswa diwajibkan menghasilkan dua cangkokan
kelengkeng. Satu untuk siswa itu sendiri, sedangkan satu lagi untuk
ditanam di sekolah.
”Sudah digratiskan pun kadang siswa tak
serius. Dulu dinas pertanian pernah mengajak warga belajar di sini.
Tapi, yang datang malah orang-orang lanjut usia yang mengira akan diberi
sumbangan,” tutur Roesdiyanto.
Meski begitu, dia tak patah arang.
Setiap bulan muridnya bertambah. Ada yang belajar untuk mengembangkan
kelengkeng sebagai tanaman di pekarangan rumah, ada pula yang untuk
bisnis. Roesdiyanto tak mempersoalkan jika kemudian mereka jauh lebih
sukses darinya.
”Salah seorang yang sukses itu Pak Kristianus di
Cianjur. Dia punya lebih dari 300 pohon. Saya senang bila banyak petani
buah dalam negeri sukses. Artinya, ketergantungan kita pada buah impor
berkurang ” ujarnya.
Roesdiyanto yakin Indonesia mampu mengejar
ketertinggalan dari negara lain untuk mengembangkan buah dan pangan
secara umum. ”Tanah kita subur, yang diperlukan hanya kemauan keras
semua pihak.”
